Page 6 - emodul_fotografi1
P. 6

Kassian Cephas memang bukan tokoh nasional yang dulunya  menenteng senjata atau berdiplomasi
              menentang penjajahan bersama politikus pada zaman sebelum dan sesudah kemerdekaan. Ia hanyalah seorang






















              fotografer asal Yogyakarta yang eksis di ujung abad ke-19, di mana dunia fotografi masih sangat asing dan tak
              tersentuh oleh penduduk pribumi kala itu. Nama Kassian Cephas mungkin baru disebut bila foto-foto tentang Sultan
              Hamengku Buwono VII diangkat sebagai bahan perbincangan. Dulu, Cephas pernah menjadi fotografer khusus
              Keraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwono VII. Karena kedekatannya dengan pihak Keraton, maka ia
              bisa memotret momen-momen khusus yang hanya diadakan di Keraton pada waktu itu. Hasil karya foto-fotonya itu
              ada yang dimuat di dalam buku karya Isaac Groneman (seorang dokter yang banyak membuat buku-buku tentang
              kebudayaan Jawa) dan buku karangan Gerrit Knaap (sejarawan Belanda yang berjudul “Cephas, Yogyakarta:
              Photography in the Service of the Sult Dari foto-fotonya tersebut, bisa dibilang bahwa Cephas telah memotret
              banyak hal tentang kehidupan di dalam Keraton, mulai dari foto Sultan Hamengku Buwono VII dan keluarganya,
              bangunan-bangunan sekitar Keraton, upacara Garebeg di alun-alun, iring-iringan benda untuk keperluan upacara,
              tari-tarian, hingga pemandangan Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Tidak itu saja,
              bahkan Cephas juga diketahui banyak memotret candi dan bangunan bersejarah
              lainnya, terutama yang ada disekitar Yogyakarta. Berkaitan dengan kegiatan
              Cephas memotret kalangan bangsawan Keraton, ada cerita yang cukup menarik.
              Zaman dulu, dari sekian banyak penduduk Jawa waktu itu, hanya segelintir saja
              rakyat yang bisa atau pernah melihat wajah rajanya. Tapi, dengan foto-foto yang
              dibuat Cephas, maka wajah-wajah raja dan bangsawan bisa dikenali rakyatnya.
                      Sejarah fotografi di Indonesia dimulai pada tahun 1857, pada saat 2
              orang juru foto Woodbury dan Page membuka sebuah studio foto di Harmonie,
              Batavia. Masuknya  fotografi  ke  Indonesia tepat 18 tahun setelah  Daguerre
              mengumumkan hasil penelitiannya yang kemudian disebutsebut sebagai awal
              perkembangan fotografi komersil. Studio fotopun semakin ramai di Batavia. Dan
              kemudian banyak fotografer professional maupun amatir mendokumentasikan
              hiruk pikuk dan keragaman etnis di Batavia.
                      Masuknya fotografi di  Indonesia adalah tahun awal dari lahirnya
              teknologi fotografi, maka kamera yang adapun masih berat dan menggunakan
              teknologi yang sederhana. Teknologi kamera pada masa itu hanya mampu merekam gambar yang statis. Karena itu
              kebanyakan foto kota hasil karya Woodbury dan Page terlihat sepi karena belum memungkinkan untuk merekam
              gambar yang bergerak.
                                                                            Masuknya    Jepang   tahun   1942   juga
                                                                    menciptakan kesempatan transfer teknologi ini.
                                                                    Karena kebutuhan propagandanya, Jepang mulai
                                                                    melatih orang Indonesia menjadi fotografer untuk
                                                                    bekerja di kantor berita mereka, Domei. Mereka inilah,
                                                                    Mendur dan Umbas bersaudara, yang membentuk
                                                                    imaji baru Indonesia, mengubah pose simpuh di kaki
                                                                    kulit putih, menjadian”. manusia merdeka yang
                                                                    sederajat. Foto-foto mereka adalah visualvisual khas
                                                                    revolusi, penuh dengan kemeriahan dan optimisme,
                                                                    beserta keserataan antara pemimpin dan rakyat biasa.
                                                                    Inilah momentum ketika fotografi benar-benar
   1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11